![]() |
Nadjamuddin Dg. Malewa Paling Kanan,saat konfrensi Malino 1946 bersama Sultan Buton. |
TAK BANYAK yang mengenal nama tokoh Nadjamuddin Daeng Malewa, apalagi Haji Abdul Rahiem. Tetapi mereka yang hidup di zaman pergerakan kemerdekaan, tentu nama ini tak lazim, sebab ia pernah menduduki posisi sebagai pesohor di zaman Indonesia masih berbentuk serikat – istilahnya RIS, Republik Indonesia Serikat.
Tepatnya, Nadjamuddin Daeng Malewa adalah Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) sekaligus merangkap sebagai Menteri Perekonomian NIT, berkedudukan di Makassar. Jabatan ini disandangnya sejak 13 Januari hingga 2 Juni 1947 untuk periode pertama, dan 2 Juni 1947 hingga 11 Oktober 1947 untuk periode kedua. (Rusdianto, 2016).
Nadjamuddin sendiri terlahir di Buton, 1907, ia seorang putra pengusaha kapal asal Buton berdarah Bugis yang berkibar di tahun 1900-an. Nama ayahanda beliau, H. Abdul Rahiem – semasa dengan Sultan Buton ke-32, Sri Sultan Muhammad Umar (1886-1906).
Tentu bagi generasi sekarang di Buton, H. Abdul Rahiem sangat asing, terkecuali beberapa keturunan dan sanak keluarganya yang masih tersisa di Kota Baubau. Sebut saja almarhum Nurdin Daeng Gassing, eks pegawai Dispenda Kota Baubau yang kediamannya berdampingan dengan kantor BRI Cabang Baubau.
“Wajar jika terlupakan, sebab tidak terlalu banyak diceritakan oleh sejarah. Tetapi bapak Haji Abdul Rahiem, adalah sosok terpandang di zaman kesultanan saat itu, dan ia juga ayah dari Bapak Nadjamuddin daeng Malewa, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri NIT di zaman RIS,” ujar Nazar Muin putera Muin Daeng Gassing kepada ButonMagz beberapa waktu lalu.
Dari banyak cerita yang tergali, Haji Abdul Rahiem memang terbilang saudagar di zamannya, di kalangan pejabat kesultanan Buton pun ia sangat akrab, bahkan sempat mendapat tugas khusus dari Sultan Buton saat itu, padahal ia seorang berdarah Bugis tulen. Sayangnya, tak diperoleh data detail tentang jabatan khusus itu.
Kendati kaya materi, tetapi H. Abdul Rahiem terkenal dermawan. Ia membantu pemerintahan Sultan Muhamad Umar yang membangun Jembatan Gantung – Baoe-Baoe (baca-Baubau) di tahun 1900, sebagai donatur. Apalagi data yang diperoleh menyebutkan bahwa proyek Jembatan Gantung yang merupakan jembatan pertama di Pulau Buton ini sempat tertunda, karena terhambatnya pembayaran gaji pekerja. Haji Abdul Rahiem pun menyumbangkan sebagian hartanya kepada Sultan.
Karena jasa-jasanya. Diceritakan pihak keluarga jika kemudian Haji Abdul Rahiem mendapat pembagian tanah dari Kesultanan di beberapa kawasan. Ada yang menyebutnya di sekitar Pulau Pendek dan juga di sekitar Pasarwajo. Sayangnya, bukti-bukti fisik pembagian tanah tersebut hingga saat ini tidak banyak ditemukan.
Sebegitu populernya nama Haji Rahiem di zamanya, sampai-sampai nama jalan di sekitar kediamannya di beri nama Jalan H.Abdul Rahiem. Tepatnya di belakang kantor BRI atau jalan pas berhadapan dengan Istana Malige, yang kini dikenal sebagai Jalan Jenderal Sudirman di Kota Baubau.
Kekerabatan Haji Abdul Rahiem di tanah Buton selain memiliki putra seorang pembesar seperti Nadjamuddin Daeng Malewa, juga punya ikatan darah kuat dengan Jenderal Polisi Yassin, pendiri Satuan Brimob POLRI, juga dengan seorang Jenderal angkatan Laut yang cukup pesohor di Buton saat ini, Laksamana Madya TNI (Purn) La Ode Dayan, SIP – eks Komandan Lantamal III Jakarta.
La Ode Dayan sendiri dalam silsilah keluarga punya nama khas Bugis, - La Ode Dayan Daeng Matterru. Ia terlahir dari orang tua berdarah Buton dan Bugis. Dan dari garis Bugis itulah kerabat H. Abdul Rahiem.
Memang, dari garis trah Haji Rahiem inilah pertautan sanak keluarganya sudah campur baur antara Bugis dan Buton. Sebut saja ponakannya, almarhum Muin Daeng Gassing menikah dengan perempuan Buton asal Lamangga. Begitupun anak cucu Muin Daeng Gassing telah kawin mawin dengan warga setempat. Bahasa yang digunakan pun dominan bahasa Wolio Buton. Begitulah akulturasi budaya telah membaur di keluarga itu.
Kini etnis Bugis di negeri ini tak lagi berjarak dengan warga lokal. Mungkin pameo ‘Bone Riaja Buton Rilau’ benar-benar telah tertanam kuat pada jiwa raga kedua etnis. Tetapi khusus di Kota Baubau, kelompok-kelompok ‘Bugis Tua’ masih banyak berdomisili di sekitar Kelurahan Wale dan sekitarnya. ** (aco)