Sejumlah media melukiskan pilu dari bencana yang menimpa Palu, Donggala di Sulawesi Tengah. Tak hanya tsunami dan gempa tetapi juga dikabarkan sekelompok pemukiamn tenggelam karena terseret tiba-tiba. Sebutan akademisnya Likuifaksi, bukan tanah tenggelam, tetapi pencairan tanah. Nauzubillah!
Likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat 28 sepetmer lalu merupakan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah seolah-olah terseret oleh lumpur, seperti yang terjadi di Kelurahan Petobo.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi juga terjadi. Namun, skalanya lebih kecil.
"Tidak semua tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi, tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin kemarin (1/10).
Likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat 28 sepetmer lalu merupakan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah seolah-olah terseret oleh lumpur, seperti yang terjadi di Kelurahan Petobo.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi juga terjadi. Namun, skalanya lebih kecil.
"Tidak semua tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi, tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin kemarin (1/10).
Ia menjelaskan, terjadinya likuifaksi disebabkan oleh guncangan gempa. Kondisi material geologi yang ada di tanah juga ikut memengaruhi. Ketika guncangan terjadi, tanah menjadi cair karena material air yang tinggi.
Dalam volume air yang besar, kata dia, tanah menjadi gembur. Akibatnya, bangunan di atas tanah, perumahan, dan pohon, itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya ambles dan tertimbun oleh lumpur.
Dengan kata lain, likuifaksi merupakan proses keluarnya lumpur dari lapisan tanah akibat guncangan gempa dan menyebabkan lapisan tanah yang awalnya kompak, bercampur dengan air menjadi lumpur. Kekuatan tanah yang berkurang mengakibatkan bangunan di atasnya hancur.
Menurut Sutopo, likuifaksi tidak sembarangan ditemukan di jalur gempa yang akan terjadi. Artinya, tidak semua daerah rawan gempa, rawan pula terjadi likuifaksi.
Fenomena likuifaksi hebat yang menimpa Perumnas Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu, harus menjadi pembelajaran untuk semua pihak. Dalam kejadian gempa di Kota Palu, likuifaksi terjadi di Perumnas Balaroa yang menenggelamkan sekitar 1.747 unit rumah. Sementara, di Perumnas Patobo ada sekitar 744 unit rumah tenggelam.
Sutopo mengatakan, BNPB belum menerima informasi terkait jumlah korban dan kerusakan yang terjadi di dua Perumnas tersebut. Namun, ia yakin jumlah kerusakan tinggi dan likuifaksi menelan banyak korban.**