![]() |
Pengukuhan Keluarga Besar Buton di Manokwari - disaksikan seorang pejabat Pemkot Baubau |
Setiap cerita kehidupan yang terselip selalu menarik untuk ditelaah. Bagaimana pun itu rupa-rupanya. Segalanya mesti patut dinarasikan dalam macam-macam langgam. Atau dibingkai dalam kidung-kidung nasihat seperti elegi.
Di sisi selatan kota Sorong di Papua Barat, ada satu kabupaten yang belum juga menggenapi usia 20 tahun. Duduk letak kabupaten itu sekira 170 kilometer dari kota Sorong. Namanya adalah kabupaten Sorong Selatan. Beribu kota di Teminabua.
Di sisi selatan kota Sorong di Papua Barat, ada satu kabupaten yang belum juga menggenapi usia 20 tahun. Duduk letak kabupaten itu sekira 170 kilometer dari kota Sorong. Namanya adalah kabupaten Sorong Selatan. Beribu kota di Teminabua.
Kabupaten ini memiliki berbagai macam jenis kekayaan alam yang bisa untuk memicu melesatnya pertumbuhan ekonomi daerah.
Digadang-gadang sebagai daerah lumbung sagu dunia, memiliki hutan sawit yang amat lapang, belum lagi potensi pertambangan yang masih terus dioptimalkan. Sorong Selatan jelas punya prospek yang baik di masa-masa mendatang. Kabupaten ini seakan tampak siap menampung gelombang beriringan investasi dari luar yang dianggap bisa meningkatkan PAD sekaligus memoles apa-apa yang selama ini menjadi kendala kemajuan daerah.
Kendati usia kabupaten ini belum cukup 20 tahun, tapi gelombang manusia pendatang dari berbagai daerah sudah lama mendirikan kongsi-kongsi dagang di ibu kota kabupaten, Teminabuan. Bahkan penuturan dari salah seorang tokoh di Sorong Selatan, bahwa orang-orang Bugis Makassar telah melakukan ekspansi secara masif di Sorong Selatan sejak awal dekade akhir abad 20.
Itu artinya orang Bugis Makassar memang sudah ada dan memulai usaha di tahun 80-an dalam kondisi Teminabuan waktu itu yang memang masih benar-benar terisolasi. Belum ada kelok-kelok jalanan yang memudahkan, belum ada hilir-mudik kendaraan antara kota Sorong dan Teminabuan, yang ada tinggallah hutan dan jalanan yang buta.
Orang-orang mesti menyeberangi laut, rawa, kali, dan muara-muara untuk mencapai Teminabuan. Mulanya kelompok orang Bugis Makassar yang datang waktu itu masih membangun lapak kecil, sebagian bekerja sebagai tukang ojek, ada yang berdagang, ada pula yang datang dengan menyandang gelar kesarjanaan yang masih begitu istimewa untuk kalangan penduduk pedalaman di semua Papua waktu itu.
Pelan-pelan dengan mengiringi berjalannya tahun, orang-orang Bugis Makassar mulai berjaya sehingga memantik rasa ingin mencoba kelompok perantau dari daerah-daerah lain di Indonesia, utamanya waktu itu dari Sulawesi Tenggara dan Maluku.
Kelompok manusia dari Sulawesi Tenggara memang terkenal punya jiwa merantau yang cukup spartan, tidak main-main. Memasuki akhir dekade abad 20, orang-orang Buton mulai gencar menyisir berbagai belahan tanah-tanah di Papua. Mereka bersebar dari paling timur di Jayapura maupun Merauke hingga di sisi barat pulau di bagian kepala burung Cendrawasih: di Papua Barat.
Banyak motif yang melatarbelakangi kedatangan orang-orang Buton di Papua secara besar-besaran. Kita mengingat bahwa orang-orang dari Buton sebelumnya telah sampai di Malaysia, Singapura, bahkan Australia. Mereka menapaki terjalnya perjalanan mencari suara kehidupan yang lain di tanah yang asing.
Mereka terbiasa hidup nomaden, mencari kepuasan akan kehidupan yang lebih perlente di hadapan dunia. Mereka berangkat ke mana arah dengan mata angin. Mencari kenikmatan sejati tentang kehidupan. Orang-orang Buton tidak akan pernah bisa berbohong bahwa hasrat untuk dapat hidup layak selalu menggebu-gebu di hati. Itulah alasan mereka rela menjunjung sengsara di tanah yang asing demi ketenangan hari-hari berikutnya.
Saya mengenang, orang Buton telah menanamkan banyak hal penting di hampir setiap sudut di kepulauan Maluku. Mereka memiliki ciri khas, mereka pandai membaca lautan, mereka gigih menghadapi perniagaan, mereka kuat menarik becak, mereka sanggup menjahit lagi tali jaring yang rusak. Mereka membawa kebudayaan dan tetap menghidupkannya di Maluku. Di pulau Ambon, bahasa Muna memiliki banyak penutur. Di dalam kota sampai luar kota, di pasar dan di jalan-jalan. Bahasa Muna punya tempat yang bagus.
Orang-orang Buton dengan cepat memosisikan diri dengan baik di Maluku
Beberapa dekade menjaga eksistensi di bumi Maluku, orang-orang Buton mulai menemui terjal rintangan. Sebagian besar dari mereka sukses dan menguasai pasar-pasar meski dengan status pedagang kecil, dan sebagian kecil lainnya mesti menerima beban nasib yang menimpa sehingga mereka tak bisa sama berjaya seperti yang lain.
Kasus ini sejatinya terlihat sederhana, tak ada yang salah, mereka yang lain itu bukannya tidak bisa sukses, mereka mungkin perlu sedikit lagi bersabar untuk merengkuh harta perniagaan yang banyak. Tapi mereka meyakini satu hal: "rezeki kami bukan di Ambon," itu yang kerap mereka katakan dalam hati.
Dorongan perasaan yang terus-menerus membayangi akhirnya memaksa mereka untuk angkat kaki dari negeri raja-raja Maluku. Mereka sudah punya rencana tujuan yang lain, bukan kembali ke kampung kelahiran melainkan mengerek lagi layar perahu ke tanah yang lain, yang dirasa lebih memungkinkan untuk mencapai sukses.
Banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih menuju Papua, daerah yang begitu asing, yang kebanyakan masyarakatnya masih tertinggal, masih terbelakang dalam hampir segala hal yang modern. Setelah mencapai Papua, orang-orang Buton tak bergeming saja, mereka bergegas memulai segala aktivitas untuk mengejar ketertinggalan hidup. Bertani, menjadi nelayan, berdagang, sampai menjual jasa, mereka lakukan untuk menghidupkan kembali eksistensi di tanah Papua yang sempat mati suri selama di kepulauan Maluku.
Gelombang orang-orang Buton yang pertama masuk secara masif di Papua telah berbaur bagus dengan masyarakat asli, dan ini memunculkan pandangan baru di kalangan masyarakat Buton yang ada di daerah-daerah lain selain Papua, termasuk di Sulawesi Tenggara sendiri.
Kabar-kabar yang menyatakan bahwa orang-orang Buton punya peluang sukses yang lebih besar di Papua akhirnya sampai menyebar di banyak telinga. Di masa-masa itu Ambon dan seluruh sisi kepulauan Maluku sudah ditinggali orang-orang Buton, mereka hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi, yang di pulau Seram, pulau Buru, Banda, maupun yang lainnya.
Namun semua tiba-tiba menjadi kecemasan saat penghujung abad 20 menghampiri, saat orang-orang asli pribumi kehilangan keseimbangan bersosial, saat akan tampak kekalahan orang-orang asli Maluku. Kerusuhan sosial akhirnya pecah, seluruh Indonesia dibuat tegang, tokoh-tokoh dunia berprihatin, tokoh-tokoh nasional turun tangan ke Ambon. Namun apa lacur, sebagian besar masyarakat telah memilih jalur untuk keluar dari Maluku dan kembali ke tempat asal masing-masing setelah pertumpahan darah yang malang itu, pun orang-orang Buton. Sebagian dari mereka yang memilih keluar dari Maluku akhirnya menjadikan Papua sebagai destinasi rantau berikut yang memang sebagaimana kabarnya telah banyak perantau Buton yang menaklukkannya
Hari-hari baru di Papua pun dimulai. Seperti ketika Amerika dibuka untuk orang-orang Eropa. Orang-orang Buton mulai memasuki berbagai lini sektor yang ada di daerah-daerah, mereka umumnya menjalankan roda dagang dengan skala di bawah, atau menjadi nelayan.
Bila yang berkesanggupan biasanya akan ikut perekrutan anggota polisi maupun prajurit TNI, bahkan ada banyak yang sampai menjadi pegawai negeri melalui jalur daerah. Semua orang bermain mengejar ketertinggalannya.
Beberapa tahun setelah kejadian paling menghantui di Maluku, orang-orang Buton perlahan mulai kembali membangun reruntuhan. Di Papua sendiri orang-orang Buton akhirnya merajalela, hampir di semua pelosok Papua ada saja pendatang asal Buton yang meramaikan ekonomi.
Mereka semua menjadi terbiasa dengan lingkungan yang sebenarnya dahulu asing bagi mereka. Mereka berkenalan dengan Papua, dengan orang-orang yang berbeda ras, sangat jauh berbeda. Semua menjadi gambaran nyata betapa Papua sangat terbuka terhadap apa saja yang masuk.
2018. Ketika dekade awal abad 21 berakhir, maka hampir berakhir pula ketertinggalan di Papua. Akses ke hampir seluruh wilayah sudah dibangun negara, semua demi memujudkan Papua yang bagus di mata dan bagus dituju. Padahal dalam rentang beberapa tahun ke belakang Papua begitu tertinggal. Sebagai contoh, perjalanan lintas darat dari kota Sorong ke Teminabuan bisa memakan waktu hingga berhari-hari, sementara jaraknya hanya sekira 170 kilometer. Tapi sekarang waktu 3 jam perjalanan akhirnya menjawab semuanya. Alhamdulillah!
Papua hari ini benar-benar menuju kemajuannya. Mall dibangun di berbagai kota. Industri mulai banyak. Pelabuhan dan bandar udara skala internasional bahkan siap membelalakkan mata orang-orang. Papua benar-benar sedang mencoba menuju modernisasi zaman. Begitulah.
Sampai hari ini ada orang yang masih kerap bertanya, "Apa Jayapura itu ramai? Apa Papua itu ada kota-kota besar?" Mereka buta, mereka tidak tahu, di Papua ada lebih dari satu kota dengan penduduk mencapai angka 200 ribu jiwa. Angka itu bukan hanya berlaku bagi kota-kota di barat Indonesia, tapi di Papua pun kota dengan manusia sebanyak itu sudah lebih dari satu.
Saya berani bertaruh dengan mereka yang kerap memiliki pandangan miring terhadap Papua. Mereka menyebut Papua itu hutan lebat, primitif, padahal orang-orang Papua bahkan bisa mendirikan perhimpunan di negara-negara seperti Amerika.
Papua sama seperti daerah lain di Indonesia, hanya bentang alam yang membuat berbeda dan sekaligus sebagai tantangan. Orang-orang yang tinggal di pelosok kerap menjadi lambat perkembangannya, tertinggal dalam banyak hal. Untuk sekadar beli baju saja mereka sampai harus menunggu ada penjual yang datang menghampiri kampung mereka yang jauh di tengah hutan.
Orang-orang Buton melakukan semua hal dengan baik, bukan hanya membaca lautan tetapi menyiasati perniagaan. Orang-orang Buton banyak yang mencapai titik-titik terjauh kehidupan di Papua, semua demi kehidupan yang lebih baik.
-----
Disadur dari catatan blog 'Orang Timur' di tulis pada Maret 2018
Disadur dari catatan blog 'Orang Timur' di tulis pada Maret 2018
0 Komentar