Nama Sultan Hasanuddin, atau lengkapnya I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, adalah seorang pahlawan nasional asal Gowa-Sulawesi Selatan yang dikenal karena kegigihan dan keberaniannya melawan penjajahan Belanda. Saking beraninya Belanda memberinya julukan ‘De Haantjes van Het Osten’ - ayam jantan dari timur.
Hasanuddin dikenal sebagai penakluk. Separuh hidupnya berguncah dalam peperangan. Bayangkan ia hanya menikmati hidup di dunia selama 39 tahun (1631-1670), dan 15 tahun usianya dihabiskan dalam peperangan. Ia dikenal pula sebagai juru taktik, maka wajar saja negeri-negeri di kawasan timur ditaklukkannya – menjelajah dari kawasan tengah hingga timur nusantara.
Di Buton, nama Suktan Hasanuddin juga pernah teracik dalam sejarah kesultanan. Hegemoni Gowa dalam genggamannya dan kuatnya Kerajaan Ternate di Timur, membuat Kesultanan Buton juga tidak tenang di zaman itu – sekitaran tahun 1660-an. Istilahnya dalam buku Prof. Dr. Susanto Zuhdi – Labu Rope, Labu Wana – dari barat (Gowa) mengancam, juga dari timur (Ternate) pun mengancam.
Kendati begitu, tak ada cerita dan gesekan tajam antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Buton kala itu. Satu-satunya hegemoni Gowa yang coba dikepakkan di Buton, hanya terjadi ketika Arung Palakka – Raja Bone melakukan suaka politik ke Buton, dan Hasanuddin pun memerintahkan bala tentaranya ke Buton hendak menangkap hidup-hidup Arung Palakka, sayang upaya itu gagal. Arung Palakka tetap bertahan bahkan dalam cerita kebutonan, ia sempat diberi kehormatan negeri bergelar Lakina Holimombo, sebelum ia meninggalkan Buton menuju Batavia, - Jakarta saat ini.
Cerita bertutur tentang Gowa dan Buton masa kini, terekam bisu dalam kesaksian nama Pulau Makasar di Baubau saat ini. Apakah penduduknya etnis Makassar? Bukan. Memang namanya sangat mirip dengan kota metropolitan yang menjadi ibu kota di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Kota Makassar, dulu bernama Ujung Pandang.
Pulau Makassar adalah nama pulau kecil di depan Kota Baubau, juga masuk dalam wilayah adminitratif kota ini. Sebenarnya orang Buton menyebut pulau ini dengan sematan Liwuto – yang berarti pulau.
Pulau ini memang mempunyai cerita keterkaitan dengan Provinsi Sulsel. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pulau ini adalah bukti sejarah antara Kerajaan Gowa Sulsel dengan Kesultanan Buton - Sultra.
Pulau ini adalah sebuah pulau yang menjadi sejarah kekalahan seorang Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, dalam penyerangan Kerajaan Buton di bawah kendali Raja Buton bernama La Awu, alias Sultan Malik Sirullah.
Diplomasi itu, menurut cerita rakyat Buton adalah untuk melakukan penangkapan terhadap Aru Palaka, putra Raja Bone yang menjadi buronan Kerajaan Gowa.
"Dalam proses pemburuan itu, Kerajaan Gowa tidak dipimpin oleh Sultan Hasanuddin melainkan anak buah Sultan Hasanuddin bernama Karaeng Bonto Marannu, Kajau Lalibong, Karaeng Kasala, Daeng Mandangi, dan Daeng Mandongi," kata Ketua Adat Pulau Makasar bernama Armudin.
Dalam sejarahnya, kata Armudin, proses penyerangan tersebut terjadi, karena Sultan Hasanuddin kecewa atas pernyataan Raja Buton bernama Malik Sirullah. Malik mengatakan, kalau orang yang dicari bernama Aru Palaka tidak berada di tanah Buton.
Pernyataan tersebut sampai ke telinga Sultan Hasanuddin dengan mendapatkan informasi dari anggotanya. Aru Palaka yang dicari benar adanya berada di tanah Buton dan sedang melakukan persembunyian dalam goa.
Dari situlah Raja Gowa ke 16 tersebut langsung memerintahkan anggotanya untuk melakukan penyerangan di tanah Buton dan berharap menemukan Aru Palaka. "Tetapi, dalam proses penyerangan itu mereka (Sultan Hasanuddin) di bawah kendali lima petinggi lainnya kalah dari Kesultanan Buton," ceritanya.
Ketua adat peraih gelar sarjana pendidikan ini menuturkan, proses penyerangan tersebut terjadi pada tahun 1666. Sedikitnya ada puluhan ribu prajurit Sultan Hasanuddin hadir dan melakukan penyerangan. Sayang, ekspektasi tak sesuai realita. Hasanuddin kalah dan tidak menemukan Aru Palaka.
Karena kekalahan tersebut, di Buton pun terjadi penawanan prajurit Gowa. Hingga pada abad ke-17 para tawanan tersebut dibebaskan. Sebagian dari tawanan itu, kata Armudin, pulang ke Sulawesi Selatan dan sebagian pula ada yang memilih tinggal di sebuah pulau yang kini dikenal Pulau Makasar atau Liwuto dalam khas dialeg Wolio-Buton.
Kini, pulau ini dihuni oleh puluhan ribu kepala keluarga. Namun, tidak lagi menjadi suku Makassar sebagaimana leluhurnya dahulu. Suku di pulau ini sudah menjadi Suku Wolio, suku asli masyarakat Buton. Masyarakat setempat, kini sudah hidup modern dengan berbagai latar belakang pekerjaan. "Ada yang jadi nelayan, bertani, dan bekerja di pemerintahan Kota Baubau," katanya.
Kehidupan pulau ini bergerak ke arah kemakmuran. Hal ini nampak dari kondisi rumah-rumah warga yang sudah dalam keadaan permanen, atau rumah batu. Ditambah lagi, banyak masyarakat setempat sudah memiliki kendaraan baik roda dua dan roda empat. Sebelumnya, menuju pulau ini masih menggunakan akses kapal, tetapi sekarang tinggal menunggu 30 menit menunggangi motor, kita sudah bisa sampai di Pulau Makasar. (asp/ref)
Hasanuddin dikenal sebagai penakluk. Separuh hidupnya berguncah dalam peperangan. Bayangkan ia hanya menikmati hidup di dunia selama 39 tahun (1631-1670), dan 15 tahun usianya dihabiskan dalam peperangan. Ia dikenal pula sebagai juru taktik, maka wajar saja negeri-negeri di kawasan timur ditaklukkannya – menjelajah dari kawasan tengah hingga timur nusantara.
Di Buton, nama Suktan Hasanuddin juga pernah teracik dalam sejarah kesultanan. Hegemoni Gowa dalam genggamannya dan kuatnya Kerajaan Ternate di Timur, membuat Kesultanan Buton juga tidak tenang di zaman itu – sekitaran tahun 1660-an. Istilahnya dalam buku Prof. Dr. Susanto Zuhdi – Labu Rope, Labu Wana – dari barat (Gowa) mengancam, juga dari timur (Ternate) pun mengancam.
Kendati begitu, tak ada cerita dan gesekan tajam antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Buton kala itu. Satu-satunya hegemoni Gowa yang coba dikepakkan di Buton, hanya terjadi ketika Arung Palakka – Raja Bone melakukan suaka politik ke Buton, dan Hasanuddin pun memerintahkan bala tentaranya ke Buton hendak menangkap hidup-hidup Arung Palakka, sayang upaya itu gagal. Arung Palakka tetap bertahan bahkan dalam cerita kebutonan, ia sempat diberi kehormatan negeri bergelar Lakina Holimombo, sebelum ia meninggalkan Buton menuju Batavia, - Jakarta saat ini.
Cerita bertutur tentang Gowa dan Buton masa kini, terekam bisu dalam kesaksian nama Pulau Makasar di Baubau saat ini. Apakah penduduknya etnis Makassar? Bukan. Memang namanya sangat mirip dengan kota metropolitan yang menjadi ibu kota di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Kota Makassar, dulu bernama Ujung Pandang.
Pulau Makassar adalah nama pulau kecil di depan Kota Baubau, juga masuk dalam wilayah adminitratif kota ini. Sebenarnya orang Buton menyebut pulau ini dengan sematan Liwuto – yang berarti pulau.
Pulau ini memang mempunyai cerita keterkaitan dengan Provinsi Sulsel. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pulau ini adalah bukti sejarah antara Kerajaan Gowa Sulsel dengan Kesultanan Buton - Sultra.
Pulau ini adalah sebuah pulau yang menjadi sejarah kekalahan seorang Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, dalam penyerangan Kerajaan Buton di bawah kendali Raja Buton bernama La Awu, alias Sultan Malik Sirullah.
Diplomasi itu, menurut cerita rakyat Buton adalah untuk melakukan penangkapan terhadap Aru Palaka, putra Raja Bone yang menjadi buronan Kerajaan Gowa.
"Dalam proses pemburuan itu, Kerajaan Gowa tidak dipimpin oleh Sultan Hasanuddin melainkan anak buah Sultan Hasanuddin bernama Karaeng Bonto Marannu, Kajau Lalibong, Karaeng Kasala, Daeng Mandangi, dan Daeng Mandongi," kata Ketua Adat Pulau Makasar bernama Armudin.
Dalam sejarahnya, kata Armudin, proses penyerangan tersebut terjadi, karena Sultan Hasanuddin kecewa atas pernyataan Raja Buton bernama Malik Sirullah. Malik mengatakan, kalau orang yang dicari bernama Aru Palaka tidak berada di tanah Buton.
Pernyataan tersebut sampai ke telinga Sultan Hasanuddin dengan mendapatkan informasi dari anggotanya. Aru Palaka yang dicari benar adanya berada di tanah Buton dan sedang melakukan persembunyian dalam goa.
Dari situlah Raja Gowa ke 16 tersebut langsung memerintahkan anggotanya untuk melakukan penyerangan di tanah Buton dan berharap menemukan Aru Palaka. "Tetapi, dalam proses penyerangan itu mereka (Sultan Hasanuddin) di bawah kendali lima petinggi lainnya kalah dari Kesultanan Buton," ceritanya.
Ketua adat peraih gelar sarjana pendidikan ini menuturkan, proses penyerangan tersebut terjadi pada tahun 1666. Sedikitnya ada puluhan ribu prajurit Sultan Hasanuddin hadir dan melakukan penyerangan. Sayang, ekspektasi tak sesuai realita. Hasanuddin kalah dan tidak menemukan Aru Palaka.
Karena kekalahan tersebut, di Buton pun terjadi penawanan prajurit Gowa. Hingga pada abad ke-17 para tawanan tersebut dibebaskan. Sebagian dari tawanan itu, kata Armudin, pulang ke Sulawesi Selatan dan sebagian pula ada yang memilih tinggal di sebuah pulau yang kini dikenal Pulau Makasar atau Liwuto dalam khas dialeg Wolio-Buton.
Kini, pulau ini dihuni oleh puluhan ribu kepala keluarga. Namun, tidak lagi menjadi suku Makassar sebagaimana leluhurnya dahulu. Suku di pulau ini sudah menjadi Suku Wolio, suku asli masyarakat Buton. Masyarakat setempat, kini sudah hidup modern dengan berbagai latar belakang pekerjaan. "Ada yang jadi nelayan, bertani, dan bekerja di pemerintahan Kota Baubau," katanya.
Kehidupan pulau ini bergerak ke arah kemakmuran. Hal ini nampak dari kondisi rumah-rumah warga yang sudah dalam keadaan permanen, atau rumah batu. Ditambah lagi, banyak masyarakat setempat sudah memiliki kendaraan baik roda dua dan roda empat. Sebelumnya, menuju pulau ini masih menggunakan akses kapal, tetapi sekarang tinggal menunggu 30 menit menunggangi motor, kita sudah bisa sampai di Pulau Makasar. (asp/ref)
0 Komentar