Hamparan tanahnya ribuan hektar, terkenal dengan nama 'pajongaE', yang kini dalam wilayah administratif Desa La Ea, Poleang Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Bombana sendiri, sebelum defenitif menjadi daerah otonom baru, adalah bagian dari Kabupaten Buton.
Melintas di kawasan ini seolah menyusur gurun pasir, tandus dan tak berpenghuni. Kenapa? Tanah lapang yang kini diklaim milik TNI-AU ini dulunya warisan pangkalan udara Jepang masa perang dunia kedua. Katanya begitu.
Lokasinya pernah diwacanakan sebagai lokasi ibu kota kabupaten Bombana sebelum diputuskan di Kasipute-Rumbia. Mungkin karena punya histori panjang dan telah dimiliki negara, lokasi ini seolah dibiarkan begitu saja seperti lahan non produktif.
Pemerintah setempat melarang aktivitas warga di sana, kendati beberapa bongkahan bukit tanah tampak telah melenguh karena kerukan. Dilarang, bisa jadi karena kekhawatiran lokasi ini menyimpan persenjataan Jepang yang sewaktu-waktu bisa membahayakan, kendati belum ada riset khusus tentang itu.
Folklor yang beredar menyebutkan gundukan-gundukan tanah tersebut adalah kamuflase kubu pertahanan untuk melindungi pesawat-pesawat Jepang dari gempuran sekutu. Gundukan tanah yang telah menjadi bukit ini juga dianggap sebagai saksi bisu kerja paksa di zaman itu. Romusha – istilah Jepangnya.
Apalagi ada sisa 'wals tua jepang' yang terparkir di bawah pohon tunggal. Kendaraan ini dikeramatkan sejak dulu, meski kini sudah ada yang memanfaatkan jadi arena pacaran yang indehoi. 😄😄😄 tetapi ini hanya dugaan, sebab kadang terpakir mobil umum dalam waktu lama di sekitarnya.
Ada pula yang cukup kreatif, memanfaatkan padang ini dengan membuat warkop-warkop dadakan. Bahkan ada juga yang membuat spot selfie area bagi muda mudia atau siapa saja yang ingin memperoleh momen cantik nan indah.
Memang kawasan PajongaE terbilang menarik pandangan mata, sebab sejauh mata memandang hanya hamparan luas berfatamorgana. Kadang juga ada rombongan kerbau menyamak di hamparan padang.
Sekitar tahun 1980-an kawasan ini banyak sekali ditemukan Rusa, hewan endemik khas Sultra. Entah kenapa telah menghilang, padahal Rusa ini juga menjadi filosofis penamaan padang ini, PajongaE, asal kata 'Jonga' atau Rusa dalam bahasa lokal setempat. Adapula yang menegaskan jika nama sebelumnya adalah ‘Labua’ dalam bahasa suku Moronene berarti pelabuhan. Tetapi entah kapan nama itu berubah, belum ada penjelasan resmi.
Sempat terpikir mengapa negara mungkin juga daerah tak memaksimalkan kawasan ini menjadi area ekonomi produktif. Membuatnya kembali jadi bandar udara yang berkelas, bisa sebagai areal perumahan elite, atau apa saja yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat sekitarnya.
Karena telah menjadi milik TNI AU, seperti tulisan papan nama yang ada di sana, lalu sampai kapan areal ini kosong melompong? jika tak bisa jadi bandara, maka bisa jadi tempat latihan menembak, terjun payung, bahkan mungkin latihan perang-perangan.
Eh.. atau pinjamkan saja pada pemerintah desa setempat untuk dimaksimalkan sebagai apa saja yang bisa memajukan warga sekitar. Sepertinya orang Sultra bisa piknik ke 'gurun saharanya' pulau Sulawesi ini. Maka pasti Anda mengatakan, mengapa tak dimaksimalkan?
Kabid Pelayanan Informasi Dinas Kominfo Kabupaten Bombana Anton Ferdianan yang juga pernah menjadi Camat di kawasan tersebut menyebutkan jika sebenarnya di zaman pemerintahan Bupati Dr. Atikurrahman, kawasan ini pernah menggagas wilayah padang luas ini untuk dibangun Bandara Perintis.
“Hal itu disambut positif Pihak TNI Angkatan Udara dengan kunjungan Pangkopsau Marsekal Udara Agus Supriatna tahun 2013. Hanya saja mungkin belum singkron akhirnya" mega proyek" ini vakum lagi sebelum ditindaklanjuti,” tandas Anton Ferdinan.
---------
#WonuaBombana
#PajongaE
#SaharaSulawesi