![]() |
Kota Ambon |
Sebuah catatan penting tentang orang-orang Buton ke Maluku terekam dalam jurnal bertajuk “melacak jalur rempah pelayaran dan migrasi Orang Buton di Kepulauan Maluku” karya Tasrifin Tahara, antropolog Unhas yang terekam dalam jurnal ‘jejak nusantara’ vol. 04 November 2016 – menjadi kekuatan jiwa orang Buton sebagai pelintas samudra.
Dalam jurnal ini terekam salah satu penyebab migrasinya orang Buton ke Maluku, karena ketidak-suburan tanah di Buton yang bebeda dengan daerah-daerh lainnya di Pulau Sulawesi. Begini tuturannya.
Pulau Buton bukanlah wilayah yang subur, tidak seperti wilayah lainnya di Pulau Sulawesi yang cukup subur sebagai lahan pertanian. Secara geologi, tanah adalah bahan lapukan dari batuan induk, karena batuan induk dari tanah di lokasi penelitian ini merupakan batuan kapur (karst) sehingga tanahnya pun banyak mengandung kapur dan kurang subur ditambah dengan curah hujan yang cukup rendah dan hanya mencapai 500–700 milimeter pertahun. Hujan banyak terjadi hanya pada bulan Desember hingga Maret.
Jika dilihat lebih teliti, tanah dalam artian sebagai hasil pelapukan batuan induk, sangatlah sedikit. Lahan di Pulau Buton yang merupakan lokasi penelitian ini lebih didominasi oleh batuan kapur yang cukup resisten atau kompak.
Lapisan tanah―kalau masih bisa ditemukan—terlihat hanya beberapa sentimeter. Tanah itu hanya terdapat pada sela-sela batuan yang masih keras. Kurangnya lapisan tanah ini diduga diakibatkan oleh kurang efektifnya tenaga eksogen dalam pelapukan batuan induk, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya curah hujan.
Jika di tempat lain di Nusantara dikenal tanah yang berbatu, dalam artian tanah lebih dominan, maka pada lokasi penelitian ini tampak sebaliknya, yakni batu yang bertanah, artinya batu yang lebih dominan dibanding lapukan yang gembur.
Selain kondisi tanah yang sebagian besar tidak subur dan sedikit kemungkinan untuk aktivitas pertanian, akses terhadap lahan sangat dikuasai oleh kelompok lapis atas pada masa akses sumber-sumber ekonomi, tradisi berlayar dan bermigrasi menjadi solusi dalam mempertahankan hidup. Bahkan pada abad ke-17, orang Buton sebagai pekerja kasar sudah dijumpai di Kepulauan Maluku terutama di Pulau Seram dan Ambon.
Situasi itu berlanjut pada 1870-an dengan adanya larangan perdagangan budak yang berimplikasi pada kekurangan buruh tenaga kerja di Kepulauan Banda di Maluku. Hal itu mengakibatkan peningkatan yang cukup signifikan kedatangan migran asal Binongko.
Saat itu, Gubernur Maluku meminta kepada Gubernur Sulawesi dan Sultan Buton untuk mengizinkan penduduk Kepulauan Tukang Besi bekerja di Banda. Sultan Buton pada waktu itu setuju menambah orang Buton di wilayah Residen Banda. Kemudian migrasi dari Buton ke Ambon terus berlanjut hingga terjadi kerusuhan Ambon pada 1999 (Palmer 2004).
Informasi tentang orang Buton di Ambon masih kurang. Pada 1930, terdapat sekitar 10 persen orang Buton dari 107.000 penduduk Ambon (Chauvel1990: 3). Saat itu, orang Buton merupakan kelompok imigran terbesar di Ambon. Kebanyakn orang Buton tersebut berasal dari Pulau Binongko, yang datang pada era terakhir abad ke-19 (Chauvel 1990).
Orang-orang Buton membuka kebun di bukit-bukit di belakang desa pesisir orang Ambon (Ouwerling dalam Chauvel 1990). Pada waktu itumereka tidak diperkenankan memiliki tanah pertanian di Ambon (Benda-Beckmann 1996).
Pada umumnya orang Buton bekerja sebagai pembuat makanan dan buruh di kota. Orang Buton yang bermigrasi ke Maluku umumnya berpendidikan rendah sehingga mereka bersedia melakukan
pekerjaan yang dianggap rendah pula oleh orang Ambon. Orang Buton juga tidak terlibat dan tidak memiliki banyak pengaruh terhadap politik daerah (Chauvel 1990).
Dalam proses interaksi dengan orang lokal, status sosial yang lebih rendah disematkan oleh orang Ambon terhadap orang Buton. Bahkan orang Buton dikesankan “inferior” dan “kuno” dibandingkan orang Ambon (Bartels 2000: 21). Namun, keadaan itu idak menghalangi proses interaksi sosial yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi dan hingga sekarang sebagian besar orang Buton telah menempati posisi-posisi sosial yang mantap di Maluku baik dalam bidang ekonomi, pendidikan maupun politik. (bersambung ke bagian-6)
Baca sebelumnya : Pelayar Buton dikenal berjiwa nasionalis dan berwawasan kebangsaan (Bagian-4)
Dalam jurnal ini terekam salah satu penyebab migrasinya orang Buton ke Maluku, karena ketidak-suburan tanah di Buton yang bebeda dengan daerah-daerh lainnya di Pulau Sulawesi. Begini tuturannya.
Pulau Buton bukanlah wilayah yang subur, tidak seperti wilayah lainnya di Pulau Sulawesi yang cukup subur sebagai lahan pertanian. Secara geologi, tanah adalah bahan lapukan dari batuan induk, karena batuan induk dari tanah di lokasi penelitian ini merupakan batuan kapur (karst) sehingga tanahnya pun banyak mengandung kapur dan kurang subur ditambah dengan curah hujan yang cukup rendah dan hanya mencapai 500–700 milimeter pertahun. Hujan banyak terjadi hanya pada bulan Desember hingga Maret.
Jika dilihat lebih teliti, tanah dalam artian sebagai hasil pelapukan batuan induk, sangatlah sedikit. Lahan di Pulau Buton yang merupakan lokasi penelitian ini lebih didominasi oleh batuan kapur yang cukup resisten atau kompak.
Lapisan tanah―kalau masih bisa ditemukan—terlihat hanya beberapa sentimeter. Tanah itu hanya terdapat pada sela-sela batuan yang masih keras. Kurangnya lapisan tanah ini diduga diakibatkan oleh kurang efektifnya tenaga eksogen dalam pelapukan batuan induk, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya curah hujan.
Jika di tempat lain di Nusantara dikenal tanah yang berbatu, dalam artian tanah lebih dominan, maka pada lokasi penelitian ini tampak sebaliknya, yakni batu yang bertanah, artinya batu yang lebih dominan dibanding lapukan yang gembur.
Selain kondisi tanah yang sebagian besar tidak subur dan sedikit kemungkinan untuk aktivitas pertanian, akses terhadap lahan sangat dikuasai oleh kelompok lapis atas pada masa akses sumber-sumber ekonomi, tradisi berlayar dan bermigrasi menjadi solusi dalam mempertahankan hidup. Bahkan pada abad ke-17, orang Buton sebagai pekerja kasar sudah dijumpai di Kepulauan Maluku terutama di Pulau Seram dan Ambon.
Situasi itu berlanjut pada 1870-an dengan adanya larangan perdagangan budak yang berimplikasi pada kekurangan buruh tenaga kerja di Kepulauan Banda di Maluku. Hal itu mengakibatkan peningkatan yang cukup signifikan kedatangan migran asal Binongko.
Saat itu, Gubernur Maluku meminta kepada Gubernur Sulawesi dan Sultan Buton untuk mengizinkan penduduk Kepulauan Tukang Besi bekerja di Banda. Sultan Buton pada waktu itu setuju menambah orang Buton di wilayah Residen Banda. Kemudian migrasi dari Buton ke Ambon terus berlanjut hingga terjadi kerusuhan Ambon pada 1999 (Palmer 2004).
Informasi tentang orang Buton di Ambon masih kurang. Pada 1930, terdapat sekitar 10 persen orang Buton dari 107.000 penduduk Ambon (Chauvel1990: 3). Saat itu, orang Buton merupakan kelompok imigran terbesar di Ambon. Kebanyakn orang Buton tersebut berasal dari Pulau Binongko, yang datang pada era terakhir abad ke-19 (Chauvel 1990).
Orang-orang Buton membuka kebun di bukit-bukit di belakang desa pesisir orang Ambon (Ouwerling dalam Chauvel 1990). Pada waktu itumereka tidak diperkenankan memiliki tanah pertanian di Ambon (Benda-Beckmann 1996).
Pada umumnya orang Buton bekerja sebagai pembuat makanan dan buruh di kota. Orang Buton yang bermigrasi ke Maluku umumnya berpendidikan rendah sehingga mereka bersedia melakukan
pekerjaan yang dianggap rendah pula oleh orang Ambon. Orang Buton juga tidak terlibat dan tidak memiliki banyak pengaruh terhadap politik daerah (Chauvel 1990).
Dalam proses interaksi dengan orang lokal, status sosial yang lebih rendah disematkan oleh orang Ambon terhadap orang Buton. Bahkan orang Buton dikesankan “inferior” dan “kuno” dibandingkan orang Ambon (Bartels 2000: 21). Namun, keadaan itu idak menghalangi proses interaksi sosial yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi dan hingga sekarang sebagian besar orang Buton telah menempati posisi-posisi sosial yang mantap di Maluku baik dalam bidang ekonomi, pendidikan maupun politik. (bersambung ke bagian-6)
Baca sebelumnya : Pelayar Buton dikenal berjiwa nasionalis dan berwawasan kebangsaan (Bagian-4)