Beberapa pengikut Kahar Muzakkar tetap bergerilya sampai 1970-an. Nama Kahar tetap harum oleh sebagian penduduk Sulawesi Selatan.
Kahar Muzakkar, adalah seorang pembelot dalam tubuh kemiliteran Indonesia di zaman pergerakan, tetapi kahar Muzakkar selalu melekat di hati pengikutnya sebagai sosok pejuang pembela kebenaran, penegak kekhilafaan Islam di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Dalam sejarhanya kahar yelah melagenda sebagai sosok sakti mandraguna. Namun begitu pemerintahan republik mengabarkan jika ia tertembak dari peluru Eli Sadeli, prajurit pasukan Siliwangi yang ditugaskan memburu Kahar. Apa nyana, kendati dikabarkan tertembak mati, tetapi pengikutnya tak begitu saja percaya. Di Kolaka Utara, di Konawe Utara dan Bombana – Sulawesi Tenggara, beberapa orang menyebut ‘marah’ jika menyebut Kahar telah meninggal dunia karena tertembak.
Puluhan tahun silam, dalam laporan bertanggal 28 Oktober 1950, Bernard Wilhelm Lapian, yang saat itu bertindak sebagai Gubernur Sulawesi, menyebut “Kahar Muzakkar [...] sebagai pelopor perjuangan kemerdekaan […] yang telah memupuk [...] perjuangan rakyat terutama di daerah Sulawesi Selatan.”
Intinya, pada 1950-an, Kahar Muzakkar dihormati kaum gerilyawan dan “disambut meriah dengan arak-arakan” di sekitar Luwu dan Tana Toraja.
Dibedil Maung Siliwangi
Meski sudah dinyatakan tertembak pada Februari 1965, ada sebagian orang yang masih percaya bahwa Kahar Muzakkar belum mati. Makamnya tak pernah ditemukan, atau pemerintah Indonesia sengaja menyembunyikan kuburannya demi menghindari pemujaan.
Pada 1954, pernah ada kabar bohong yang menyebut Kahar tewas. Kabar ini beredar sampai ke Jakarta. Pihak pemerintah daerah Sulawesi melalui Kepala Bagian Politik Kegubernuran Sulawesi J. Latumahina akhirnya mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengklarifikasi kabar kematian tersebut. Mereka mendengar kabar bahwa Kahar Muzakkar meninggal di Palopo.
“Sepanjang penyelidikan kami, berita ini belum dapat dibenarkan dan masih terus diadakan penyelidikan,” jelas Latumahina dalam surat bertanggal 23 Mei 1954.
Menurut catatan Anhar Gonggong, “Ketika terbetik berita bahwa ia telah meninggal pada 1954, Bintang Timur edisi 24 Mei 1954 bahkan tidak segera mengutuk kegiatan Kahar Muzakkar sebagai pemberontak dan pengkhianat negara." Surat kabar organ Partai Komunis Indonesia ini malah menulis, "Di dalam menilai Kahar Muzakkar, kita tidak boleh gegabah.”
Menurut catatan Kodam Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (1979), Kahar tertembak pada 2 Februari 1965. Usai kawasan di sekitar Sungai Lasalo dikepung dan disisir oleh pasukan Siliwangi, sepeleton prajurit dari Siliwangi di bawah komando Pembantu Letnan Satu Umar Sumarsana ditugaskan mencari posisi Kahar Muzakkar pada 27 Januari 1965. Usaha itu terlihat pada 2 Februari 1965.
“Dari seberang Sungai Lasalo, mereka melihat ada orang yang mandi dan membawa karaben. Peleton Umar kemudian berkesimpulan, tak jauh dari situ, terdapat perkubuan musuh (gerombolan). Tiba-tiba pada pukul 16.30 (2 Februari 1965) terdengarlah sayup-sayup lagu Terkenang Masa Lampau dari sebuah radio, yang dipancarkan dari radio Malaysia Kuala Lumpur,” menurut buku tersebut.
Menurut pengikut Kahar, lagu tersebut adalah lagu kesukaan sang panglima. Pasukan Umar pernah diberitahu, “satu-satunya radio di hutan itu adalah milik Kahar Muzakkar.” Hal ini ditegaskan lewat informasi tawanan bernama Ali Basya.
Penyusupan ke sekitar pondok gerombolan dilakukan oleh peleton dari Kompi D. Batalyon 330/Kujang Siliwangi yang dipimpin Umar. Sebelum penyergapan, semua jalur pelarian ditutup di areal posisi persembunyian Kahar. Dini hari 3 Februari 1965, Pasukan Umar mulai bergerak.
Menurut catatan Siliwangi dari Masa ke Masa, “Ketika tembakan-tembakan dilepaskan, dari gubuk ke-5 (dari utara) melompatlah Kahar Muzakkar, yang dengan jelas dapat dikenal oleh Kopral Dua Ili Sadeli […] Kahar Muzakkar sedang menggenggam granat tangan. Kopral Dua Ili Sadeli pun tak mau mengambil risiko ... Dengan jitu, ia melepaskan tembakan terarah ke dada Kahar yang kemudian tewas seketika.”
Kabar kematian Kahar sampai ke Jakarta agak telat karena lokasi baku tembak sulit dijangkau. Jenazahnya kemudian dibawa ke Makassar.
Panglima militer di Makassar, Kolonel M. Jusuf, “memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyaksikan jenazah itu, dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar adalah Kahar Muzakkar,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006).
Meski begitu, isu Kahar masih hidup tetap ada. Toh, masyarakat tak melihat ada kuburan Kahar Muzakkar sampai sekarang. “Setelah satu hari dibaringkan di rumah sakit, kemudian jenazah dikuburkan, hanya sedikit pejabat militer yang mengetahuinya.”
Baik M. Jusuf dan perwira lain seperti Solichin GP juga enggan memberi tahu letak pasti kuburan Kahar.
Setelah Kahar Terbunuh
Kahar boleh mati pada 3 Februari 1965, tapi masih ada pengikut Kahar yang masih bergerilya hingga 1970-an di sekitar perbukitan Duri, Enrekang, yang dekat Tana Toraja. Di sana nama Kahar harum. Daerah Baraka, dekat Kalosi dan Anggeraja—jalan poros ke Tana Toraja—dulunya jadi markas pasukan Kahar Muzakkar. Masyarakat di daerah itu punya bayangan sendiri soal Kahar Muzakkar.
Menurut cerita dari Haerul, warga Duri yang mendalami sejarah di Universitas Hasanuddin, Makassar, pengikut Kahar seperti Sanusi Daris bersembunyi di hutan hingga 1970-an. Sesekali pengikut Daris turun ke desa-desa untuk mendapatkan makanan. Biasanya dengan isyarat cahaya cermin.
Itulah kenapa masyarakat menyebut, “gunung tempat Sanusi Daris bersembunyi dengan nama Sansudaris,” ujar Haerul. “Di sini, sebagian orang anggap Sanusi Daris adalah pahlawan, tapi beberapa juga menganggap pemberontak.”
Menurut Martin van Bruinessen dalam Contemporary Developments in Indonesian Islam (2013), “setelah Kahar terbunuh, Sanusi Daris tetap bersembunyi, hidup di dalam gua. Ketika dia keluar dari persembunyiannya, dia segera ditangkap dan diadili. Dia akhirnya dilepaskan karena intervensi dari Jenderal M. Jusuf.”
Andi Faisal Bakti dalam "Collective Memories of the Qahhar Movement" menulis Sanusi Daris ditangkap pada 5 Oktober 1982." Bersama pemimpin senior lain, ia diinterogasi secara brutal dan disiksa selama penahanan dua tahun dan disidangkan di Makassar. Setelah bebas, Sanusi ke luar negeri.
“Rupanya untuk mencari Kahar,” tulis Andi Bakti dalam artikelnya yang dimuat pada buku Beginning to Remember; The Past in the Indonesian Present (2005).
Sanusi dan sisa pengikut lain tampak yakin “bahwa Kahar masih hidup dalam pengasingan. Meski gagal menemukan Kahar, Sanusi berhasil mengorganisir pertemuan dan pendukung di Malaysia.” Setelah Sanusi meninggal dunia, Syamsul Bachri alias Syamsul Fattah menggantikan Sanusi sebagai pemimpin Republik Persatuan Sulawesi (RPS).
Setelah pemerintahan Soeharto bubar, menurut catatan Andi Bakti, salah seorang anak Kahar, Abdul Azis, mendirikan Komite Persiapan Pelaksanaan Syariat Islam (KPPSI). Selain itu ada pula organisasi bernama Pusat Amanat Referendum Rakyat Sulawesi (PARAS). Pernah ada seseorang bernama Syamsuri bahkan mengaku diri sebagai Kahar Muzakkar, tetapi 37 anggota keluarga besar membantah hal tersebut pada 17 Agustus 2000.
Menurut keluarga, Syamsuri bukan Kahar Muzakkar dan Kahar Muzakkar sudah meninggal pada 3 Februari 1965. Intinya, dari apa yang ditulis Andi Bakti, kenangan Kahar Muzakkar telah ikut memengaruhi lanskap politik lokal di Sulawesi Selatan.
Sosok Kahar Muzakkar
Andi Kahar Muzakkar, nama lengkapnya adalah bangsawan dari Tanah Luwu. Lahir Tanggal 24 Maret 1921 di Kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu Indonesia. Masa kecil beliau di kampung halaman sangat terkenal. Beliau dijuluki La Domeng yang artinya dalam Bahasa ugi/Bugis Pandai Bermain Domino.
Kahar Muzzakar menyelesaikan Sekolah Rakyat Pada tahun 1938, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Kota Solo. Beliau bersekolah di Kweekschool Muhammadiyah, tapi sayang Kahar Muzakkar tidak sampai lulus sekolah dikarenakan dia Menikahi seorang gadis Solo bernama Siti Walinah.
Pada tahun 1941 beliau kembali ke kampung halamanya di Tanah Luwu. Di Luwu, kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, yang bernama Nippon Dahopo. Karena sikap antifeodalisme dan anti penjajahan Kahar cukup kuat dan menyolok. Beliau akhirnya dibenci dan dikucilkan oleh Jepang dan keluarga Kerajaaan Luwu pada saat itu.
Sampai suatu hari Kahar di Fitnah dengan tuduhan mencuri, akhirnya kerajaan bangsawaan Tanah Luwu menghukumnya dengan hukuman adat, beliau di usir dari Tanah Luwu. Sejak itulah nama atau Gelar Bangsawan Luwu tidak dipakai oleh beliau, namanya pun berganti menjadi Abdul Kahar Muzakkar.
Pada Bulan Mei Tahun 1943. Kahar meninggalkan kampung halamannya, ia memutuskan kembali ke Solo. Disana Kahar menikah yang kedua kali dengan noni Belanda bernama Corry van Stenus yang berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya adalah campuran Indo-Belanda bernama Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya bernama Supinah, berasal dari Kota Solo.
Setelah proklamasi Kemerdekaan RI - 17 Agustus 1945, beliau memutuskan hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota negara republik Indonesia. Tidak lama kemudian Kahar Muzakkar mendirikan sebuah organisasi Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi.
Awal mula Kahar di kenal di pemerintahan Indonesia
Puncak Prestasi terbesar beliau ketika menjadi Pengawal Ir. Soekarno-Hatta, Pada saat Rapat Raksasa Ikada di Jakarta 19 September 1945 dengan bersenjatakan sebilah badik/golok yang terselip selalu di pinggangnya beliau melindung Ir. Soekarno dari kerumunan Tentara Jepang yang menghunus bayonet memaksa membubarkan rapat pada saat itu.
Disitulah awal Kahar Muzakkar di kenal dengan keberaniannya. Sampai Ir Soekarno tertarik dan selalu ingin dikawal terus oleh Kahar Muzakkar, bahkan tanpa ada Kahar Muzakkar disampingnya. Ir Soekarno merasa sangat tidak nyaman dan gelisah.
Semenjak itu Kahar Muzakkar bergabung dengan Militer RI dan karirnya menanjak. Kahar beberapa kali terlibat dalam pertempuran perang untuk penyelamatan dua Proklamator RI Bung Karno dan Bung Hatta. Pada bulan Desember 1945, Kahar mendapat mandat untuk membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, kemudian beliau membentuk dan menjadikan laskar khusus andalan di bawah naungan Badan Penyelidik Khusus. Badan intelejen negara di bawah kepemipinan Kolonel Zulkifli Lubis.
Kahar juga sangat aktif mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, jika karier Kahar di Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) begitu gemilang.
Kedekatan Kahar Muzakkar dengan Ir. Soekarno dan karirnya yang bersinar menjadi ancaman besar pada satu Kepentingan yang ditumpangi Komunis. Kahar pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi orang Luwu-Palopo Sulsel yang pertama kali berpangkat Letnan kolonel. ** (sumber tirto dan catatan Andi Baso)
Panglima militer di Makassar, Kolonel M. Jusuf, “memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyaksikan jenazah itu, dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar adalah Kahar Muzakkar,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006).
Meski begitu, isu Kahar masih hidup tetap ada. Toh, masyarakat tak melihat ada kuburan Kahar Muzakkar sampai sekarang. “Setelah satu hari dibaringkan di rumah sakit, kemudian jenazah dikuburkan, hanya sedikit pejabat militer yang mengetahuinya.”
Baik M. Jusuf dan perwira lain seperti Solichin GP juga enggan memberi tahu letak pasti kuburan Kahar.
Setelah Kahar Terbunuh
Kahar boleh mati pada 3 Februari 1965, tapi masih ada pengikut Kahar yang masih bergerilya hingga 1970-an di sekitar perbukitan Duri, Enrekang, yang dekat Tana Toraja. Di sana nama Kahar harum. Daerah Baraka, dekat Kalosi dan Anggeraja—jalan poros ke Tana Toraja—dulunya jadi markas pasukan Kahar Muzakkar. Masyarakat di daerah itu punya bayangan sendiri soal Kahar Muzakkar.
Menurut cerita dari Haerul, warga Duri yang mendalami sejarah di Universitas Hasanuddin, Makassar, pengikut Kahar seperti Sanusi Daris bersembunyi di hutan hingga 1970-an. Sesekali pengikut Daris turun ke desa-desa untuk mendapatkan makanan. Biasanya dengan isyarat cahaya cermin.
Itulah kenapa masyarakat menyebut, “gunung tempat Sanusi Daris bersembunyi dengan nama Sansudaris,” ujar Haerul. “Di sini, sebagian orang anggap Sanusi Daris adalah pahlawan, tapi beberapa juga menganggap pemberontak.”
Menurut Martin van Bruinessen dalam Contemporary Developments in Indonesian Islam (2013), “setelah Kahar terbunuh, Sanusi Daris tetap bersembunyi, hidup di dalam gua. Ketika dia keluar dari persembunyiannya, dia segera ditangkap dan diadili. Dia akhirnya dilepaskan karena intervensi dari Jenderal M. Jusuf.”
Andi Faisal Bakti dalam "Collective Memories of the Qahhar Movement" menulis Sanusi Daris ditangkap pada 5 Oktober 1982." Bersama pemimpin senior lain, ia diinterogasi secara brutal dan disiksa selama penahanan dua tahun dan disidangkan di Makassar. Setelah bebas, Sanusi ke luar negeri.
“Rupanya untuk mencari Kahar,” tulis Andi Bakti dalam artikelnya yang dimuat pada buku Beginning to Remember; The Past in the Indonesian Present (2005).
Sanusi dan sisa pengikut lain tampak yakin “bahwa Kahar masih hidup dalam pengasingan. Meski gagal menemukan Kahar, Sanusi berhasil mengorganisir pertemuan dan pendukung di Malaysia.” Setelah Sanusi meninggal dunia, Syamsul Bachri alias Syamsul Fattah menggantikan Sanusi sebagai pemimpin Republik Persatuan Sulawesi (RPS).
Setelah pemerintahan Soeharto bubar, menurut catatan Andi Bakti, salah seorang anak Kahar, Abdul Azis, mendirikan Komite Persiapan Pelaksanaan Syariat Islam (KPPSI). Selain itu ada pula organisasi bernama Pusat Amanat Referendum Rakyat Sulawesi (PARAS). Pernah ada seseorang bernama Syamsuri bahkan mengaku diri sebagai Kahar Muzakkar, tetapi 37 anggota keluarga besar membantah hal tersebut pada 17 Agustus 2000.
Menurut keluarga, Syamsuri bukan Kahar Muzakkar dan Kahar Muzakkar sudah meninggal pada 3 Februari 1965. Intinya, dari apa yang ditulis Andi Bakti, kenangan Kahar Muzakkar telah ikut memengaruhi lanskap politik lokal di Sulawesi Selatan.
Sosok Kahar Muzakkar
Andi Kahar Muzakkar, nama lengkapnya adalah bangsawan dari Tanah Luwu. Lahir Tanggal 24 Maret 1921 di Kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu Indonesia. Masa kecil beliau di kampung halaman sangat terkenal. Beliau dijuluki La Domeng yang artinya dalam Bahasa ugi/Bugis Pandai Bermain Domino.
Kahar Muzzakar menyelesaikan Sekolah Rakyat Pada tahun 1938, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Kota Solo. Beliau bersekolah di Kweekschool Muhammadiyah, tapi sayang Kahar Muzakkar tidak sampai lulus sekolah dikarenakan dia Menikahi seorang gadis Solo bernama Siti Walinah.
Pada tahun 1941 beliau kembali ke kampung halamanya di Tanah Luwu. Di Luwu, kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, yang bernama Nippon Dahopo. Karena sikap antifeodalisme dan anti penjajahan Kahar cukup kuat dan menyolok. Beliau akhirnya dibenci dan dikucilkan oleh Jepang dan keluarga Kerajaaan Luwu pada saat itu.
Sampai suatu hari Kahar di Fitnah dengan tuduhan mencuri, akhirnya kerajaan bangsawaan Tanah Luwu menghukumnya dengan hukuman adat, beliau di usir dari Tanah Luwu. Sejak itulah nama atau Gelar Bangsawan Luwu tidak dipakai oleh beliau, namanya pun berganti menjadi Abdul Kahar Muzakkar.
Pada Bulan Mei Tahun 1943. Kahar meninggalkan kampung halamannya, ia memutuskan kembali ke Solo. Disana Kahar menikah yang kedua kali dengan noni Belanda bernama Corry van Stenus yang berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya adalah campuran Indo-Belanda bernama Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya bernama Supinah, berasal dari Kota Solo.
Setelah proklamasi Kemerdekaan RI - 17 Agustus 1945, beliau memutuskan hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota negara republik Indonesia. Tidak lama kemudian Kahar Muzakkar mendirikan sebuah organisasi Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi.
Awal mula Kahar di kenal di pemerintahan Indonesia
Puncak Prestasi terbesar beliau ketika menjadi Pengawal Ir. Soekarno-Hatta, Pada saat Rapat Raksasa Ikada di Jakarta 19 September 1945 dengan bersenjatakan sebilah badik/golok yang terselip selalu di pinggangnya beliau melindung Ir. Soekarno dari kerumunan Tentara Jepang yang menghunus bayonet memaksa membubarkan rapat pada saat itu.
Disitulah awal Kahar Muzakkar di kenal dengan keberaniannya. Sampai Ir Soekarno tertarik dan selalu ingin dikawal terus oleh Kahar Muzakkar, bahkan tanpa ada Kahar Muzakkar disampingnya. Ir Soekarno merasa sangat tidak nyaman dan gelisah.
Semenjak itu Kahar Muzakkar bergabung dengan Militer RI dan karirnya menanjak. Kahar beberapa kali terlibat dalam pertempuran perang untuk penyelamatan dua Proklamator RI Bung Karno dan Bung Hatta. Pada bulan Desember 1945, Kahar mendapat mandat untuk membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, kemudian beliau membentuk dan menjadikan laskar khusus andalan di bawah naungan Badan Penyelidik Khusus. Badan intelejen negara di bawah kepemipinan Kolonel Zulkifli Lubis.
Kahar juga sangat aktif mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, jika karier Kahar di Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) begitu gemilang.
Kedekatan Kahar Muzakkar dengan Ir. Soekarno dan karirnya yang bersinar menjadi ancaman besar pada satu Kepentingan yang ditumpangi Komunis. Kahar pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi orang Luwu-Palopo Sulsel yang pertama kali berpangkat Letnan kolonel. ** (sumber tirto dan catatan Andi Baso)