HUBUNGAN Buton dan Tiongkok sudah terjalin sejak lama bahkan sebelum Kerajaan Buton terbentuk. Etnis Tionghoa diperkirakan bermigrasi secara bertahap di Kota Baubau (Zahari 1977a: 28). Lanskap pecinan di Kota Baubau terbentuk sekitar akhir abad ke-19 atau abad ke-20.
Bukti catatan historis tercatat pada perjanjian Asyikin Brugman pada 8 April 1906, disebutkan pada pasal 22 ayat 2, “Keberadaan orang-orang Cina yang tinggal di Buton telah menjadi besar karena Guvermen Belanda yang karena itu bila mereka diminta bantuan perlu diberikan seperti juga membantu Guvermen Belanda” (Zahari 1977c: 94).
Mereka datang untuk memperebutkan peluang ekonomi hingga akhirnya tinggal permanen berdekatan dengan permukiman Belanda (Rabani 2010: 76-78).
Bukti catatan historis tercatat pada perjanjian Asyikin Brugman pada 8 April 1906, disebutkan pada pasal 22 ayat 2, “Keberadaan orang-orang Cina yang tinggal di Buton telah menjadi besar karena Guvermen Belanda yang karena itu bila mereka diminta bantuan perlu diberikan seperti juga membantu Guvermen Belanda” (Zahari 1977c: 94).
Mereka datang untuk memperebutkan peluang ekonomi hingga akhirnya tinggal permanen berdekatan dengan permukiman Belanda (Rabani 2010: 76-78).
Di Kota Baubau hanya terdapat lanskap pecinan, tidak ditemukan lanskap pekojan yang dihuni etnis Arab seper ti daerah-daerah dengan pengaruh kolonial lainnya akibat adanya kebijakan wijkenstelsel (Suprihatin et al . 2009 : 1-12 ; Suryaningrum et al. 2009: 65-78).
Etnis Arab dapat membaur di lanskap Keraton Buton sehingga tidak membentuk permukiman sendiri sebagaimana etnis Tionghoa. Hal ini dipengaruhi oleh adanya ikatan emosional akibat persamaan agama oleh komunitas Arab dan masyarakat Buton.
Petikan tulisan di atas, menjadi cuplikan cerita dalam karya ilmiah Ray March Syahadat dkk dalam jurnalnya yang berjudul “lanskap kolonial Kota baubau, sebuah pusaka peninggalan masa kolonial di Sulawesi Tenggara” tahun 2015. Sebuah tulisan ilmiah yang berkisah tentang kawasan Pecinan di Kota Baubau.
Dapat ditepak dari peta lanskap tersebut, bila kawasan ini lokasinya di Jalan Kartini hingga Jalan Yos Sudarso Kota Baubau masa kini, lebih khusus lagi kawasan-kawasan pertokoan. Namun ornamen Pecinan tak tampak lagi dalam konstruksi bangunan mereka, sebab tergerus dengan gaya bangunan modernitas dan kesan pecinannya seolah memudar, belum lagi kebijakan Pemkot Baubau di sekitar tahun 2008-2010, agar ornamen depan pertokoan ‘dipasangkan’ khas Buton.
Kendati begitu pertokoan Pecinan ini masih terasa da waktu-waktu tertentu, seperti saat peringatan ‘imlek’, dengan sejumlah ornamen-ornamen khas Cina lengkap dengan tulisan Gong Xi Fat Chai, yang bermakna salam sejahtera, plus lampion-lampion yang sangat khas menghiasi ruko-roko yang ada di Kota Baubau. Termasuk pula pementasan Barongsai oleh komunitas Cina Baubau
Etnis Arab dapat membaur di lanskap Keraton Buton sehingga tidak membentuk permukiman sendiri sebagaimana etnis Tionghoa. Hal ini dipengaruhi oleh adanya ikatan emosional akibat persamaan agama oleh komunitas Arab dan masyarakat Buton.
Petikan tulisan di atas, menjadi cuplikan cerita dalam karya ilmiah Ray March Syahadat dkk dalam jurnalnya yang berjudul “lanskap kolonial Kota baubau, sebuah pusaka peninggalan masa kolonial di Sulawesi Tenggara” tahun 2015. Sebuah tulisan ilmiah yang berkisah tentang kawasan Pecinan di Kota Baubau.
Dapat ditepak dari peta lanskap tersebut, bila kawasan ini lokasinya di Jalan Kartini hingga Jalan Yos Sudarso Kota Baubau masa kini, lebih khusus lagi kawasan-kawasan pertokoan. Namun ornamen Pecinan tak tampak lagi dalam konstruksi bangunan mereka, sebab tergerus dengan gaya bangunan modernitas dan kesan pecinannya seolah memudar, belum lagi kebijakan Pemkot Baubau di sekitar tahun 2008-2010, agar ornamen depan pertokoan ‘dipasangkan’ khas Buton.
Kendati begitu pertokoan Pecinan ini masih terasa da waktu-waktu tertentu, seperti saat peringatan ‘imlek’, dengan sejumlah ornamen-ornamen khas Cina lengkap dengan tulisan Gong Xi Fat Chai, yang bermakna salam sejahtera, plus lampion-lampion yang sangat khas menghiasi ruko-roko yang ada di Kota Baubau. Termasuk pula pementasan Barongsai oleh komunitas Cina Baubau
Suasana Pecinan juga terasa pula ketika masuk ke toko-toko dimaksud, sebab ornamen-ornamen dalam ruangan sangat khas Tionghoa. Namun jangan salah, sikap toleransi kepada masyarakat lokal begitu tinggi. Mereka juga telah merasa bahwa Baubau adalah negeri mereka sendiri. Apalagi memahami sejarah Kerajaan Buton masa lalu dipimpin seorang Ratu pertama bernama Wa Kaa Kaa. Belum lagi simbol-simbol kedaerahan di masyarakat Buton, seperti nenas, patung naga, seolah menjadi perekat emosional tersendiri bagi warga Baubau keturunan Tionghoa.
Berkait hal ini, pemerhati kebijakan publik Dr. La Ode Syaiful Islami dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau, beberapa kali menyuarakan agar kahazanah kebudayaan di Buton termasuk keturunan Tionghoa dihidupkan lagi.
“Idealnya kawasan Pecinan Baubau, sudah ada festival Pecinan dan sebagainya. Agar Kota Baubau tidak saja dikenal dengan kebudayaan dan keluhuran sejarah Butonnnya, tetapi keragaman di dalamnya. Baubau ini kota tua dalam sejarah dan peradaban,” ujar La Ode Syaiful Islami kepada Butonmagz, Selasa sore kemarin, 28 November 2018.
Ia juga menyoroti, pergeseran kawasan Pecinan Baubau yang tergeser oeleh peradaban modernitas. “Idealnya khas Pecinan itu tetap ada, apalagi mereka telah membaur dengan masyarakat lokal, kawin-mawin dan sebagainya, juga sudah ada yang jadi anggota legislatif,” imbuh Syaiful Islami yang juga dikenal sebagai penulis buku ‘collaborative governance’ oleh penerbit Deepublish-Jogyakarta ini.** (ref)
0 Komentar