![]() |
Bupati Buton Zainal Arifin Sugianto didampingi ADC - La Ode Makmuni |
Sebagai rangkaian Perigatan HUT Kota Baubau k4-477 dan 17 tahun sebagai daerah Otonom, Butonmagz menurunkan satu rangkaian cerita berkaitan peristiwa tentang kelahiran Baubau, khususnya saat berstatus sebagai kota administratif (Kotif). berikut liputannya;
Di Penghujung tahun 1975 adalah masa-masa membahas kelahiran Bau-Bau sebagai kota administratif. Waktu itu Buton dibawah kepemimpinan Bupati Kol. Zainal Arifin Sugianto (1969-1981) punya banyak ide dan terbosan membangun daerah ini, termasuk mengajak segenap elemen-untuk berpikir keras bagaimana percepatan kawasan perkotaan, khususnya di Bau-Bau.
Inspirasinya sederhana; keinginan membentuk kota otonom bernama Kota Madya Bau-Bau. Bupati ingin Bau-Bau seperti Makassar dan Manado; tetapi proses menuju status “kota madya” tidak semudah apa yang dibayangkan; sebab Bau-Bau di era pemerintahan swatantra dan swapraja (peralihan dari masa Hindia Belanda ke Republik) kota kecil ini tidak berstatus “kota praja”, layaknya Kota Praja Makassar dan Kota Praja Manado. Apalagi muncul kebijakan pemerintah pusat, bahwa menjadi kota madya, harus didahului dengan kota administratif (Kotif).
Penuturan Drs. H. La Afie (1) menyebutkan jika kebijakan itu tidak menyurutkan semangat sejumlah tokoh masyarakat di Bau-Bau mewujudkan impian itu. Karenanya suatu waktu di pertengahan tahun 1975, ia ditemui Sekretaris Daerah Kabupaten Dati II Buton, Drs. La Ode Malim, membahas persiapan pembentukan Kotif Bau-Bau itu. Secara kebetulan keduanya masih bertetangga di kawasan Jalan Imam Bonjol, sehingga memudahkan keduanya membahas dan berdiskusi soal ini.
Posisi La Afie kala itu baru saja ditarik menjadi Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton, dari jabatan lamanya sebagai Camat Kaledupa.
“Jabatan Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton; harusnya dijabat oleh yang berlatar belakang militer. Kebetulan saya baru saja mengikuti pendidikan perwira Cadangan (Pacad) kerjasama TNI AD dan Depdagri tahun ajaran 1975/1976. Mungkin karena latar belakang itu, pembahasan hal-hal strategis saya banyak dilibatkan, apalagi Bupati kita itu militer murni,” kata H. La Afie
Di saat yang bersamaan, Kendari juga tengah bersibuk ria menyambut kelahiran ‘Kotif Kendari” yang kemudian disahkan oleh negara melalui PP Nomor 19 tahun 1978 tanggal 1 Juli 1978. Kondisi ini menjadi bahan cerita di kalangan elite Buton. Terasa ada nuansa ketidak-adilan, paling tidak muncul banyak pernyataan yang membandingkan kondisi Bau-Bau dengan Kendari saat itu.
La Ode Malim kepada La Afie dalam diskusinya memunculkan pertanyaan; kok bisa Kendari lebih dulu jadi Kotif, sementara infrastruktur Bau-Bau jauh lebih baik dari Kendari?. Karena itu bersepakatlah keduanya membuat pertemuan, mengajak para elite daerah untuk membahas lebih serius persiapan dan pengusulan lahirnya Kotif Bau-Bau.
Di tahun 1977 itu pula diusulkan Bau-Bau menjadi kota adminitratif, tetapi kemudian ditolak oleh pemerintah pusat, dengan alasan ada aturan baru, jika sebuah kota adminitratif harus memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) kecamatan. Sementara Bau-Bau hanya memiliki satu kecamatan penunjang utama, yakni Kecamatan Wolio.
Sebelum menjelaskan efek penolakan Kotif Bau-Bau ini, ada baiknya memahami sejak awal ikhwal berkaitan dengan asal mula pembentukan Kecamatan Wolio sebagai berikut;
Berkaitan dengan hal ikhwal Kecamatan Wolio sebagai kecamatan induk; dari sejumlah sejumlah literatur dan dokumentasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, menyebutkan jika Kecamatan Wolio terbentuk melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Nomor 87/1968 yang ditandatangani Gubernur Eddy Sabara pada hari Sabtu, tanggal 22 Juni 1968, di masa pemerintahan Bupati Buton - Muhammad Kasim (1964-1969). Lahirnya Kecamatan Wolio di Buton bersamaan dengan Lahirnya Kecamatan Kendari di Kendari.
Untuk menunjang kelancaran jalannya pemerintahan kecamatan Wolio maka ditunjuk Abdul Hasan sebagai Camat Wolio yang pertama, menjabat dari tahun 1968-1972. Wilayahnya terdiri dari beberapa desa dalam wilayah Kabupaten Dati II Buton, yakni; Desa Wale, Desa Tomba, Desa Bataraguru, Desa Batulo, Desa Wangkanapi, Desa Kadolomoko, Desa Waruruma, Desa Lakologou, Desa Liwuto.
Kecamatan Wolio sendiri berdasarkan sejarahnya sebelum menjadi nama kecamatan di tahun 1968 itu, adalah wilayah penggabungan dua distrik, yakni Distrik Bolio dan Distrik Bungi yang wilayahnya dibatasi kali Bau-Bau. Sebelah Barat Kali Baubau menjadi wilayah Distrik Bolio, dan sebelah timur menjadi wilayah Distrik Bungi.
Dalam perjalanannya di sekitar dalam rentang tahun 1970 hingga 1980-an, wilayah-wilayah Kecamatan Wolio telah membesar menjadi 29 desa terdiri dari; desa Wale, desa Tomba, desa Bataraguru, desa Batulo, desa Wangkanapi, desa Kadolomoko, desa Kadolokatapi, desa Waruruma, desa Liwuto, desa Bungi, desa Lakologou, desa Liabuku, desa Kampeonaho, desa Lowu-lowu, desa Kalialia, desa Ngkaring-ngkari, desa Nganganaumala, desa Lanto, desa Kaobula, desa Wameo, desa Tarafu, desa Bone-Bone, desa Katobengke, desa Sulaa, desa Wajo, desa Lamangga, desa Melai, desa Baadia, desa Waborobo.
Di Penghujung tahun 1975 adalah masa-masa membahas kelahiran Bau-Bau sebagai kota administratif. Waktu itu Buton dibawah kepemimpinan Bupati Kol. Zainal Arifin Sugianto (1969-1981) punya banyak ide dan terbosan membangun daerah ini, termasuk mengajak segenap elemen-untuk berpikir keras bagaimana percepatan kawasan perkotaan, khususnya di Bau-Bau.
Inspirasinya sederhana; keinginan membentuk kota otonom bernama Kota Madya Bau-Bau. Bupati ingin Bau-Bau seperti Makassar dan Manado; tetapi proses menuju status “kota madya” tidak semudah apa yang dibayangkan; sebab Bau-Bau di era pemerintahan swatantra dan swapraja (peralihan dari masa Hindia Belanda ke Republik) kota kecil ini tidak berstatus “kota praja”, layaknya Kota Praja Makassar dan Kota Praja Manado. Apalagi muncul kebijakan pemerintah pusat, bahwa menjadi kota madya, harus didahului dengan kota administratif (Kotif).
Penuturan Drs. H. La Afie (1) menyebutkan jika kebijakan itu tidak menyurutkan semangat sejumlah tokoh masyarakat di Bau-Bau mewujudkan impian itu. Karenanya suatu waktu di pertengahan tahun 1975, ia ditemui Sekretaris Daerah Kabupaten Dati II Buton, Drs. La Ode Malim, membahas persiapan pembentukan Kotif Bau-Bau itu. Secara kebetulan keduanya masih bertetangga di kawasan Jalan Imam Bonjol, sehingga memudahkan keduanya membahas dan berdiskusi soal ini.
Posisi La Afie kala itu baru saja ditarik menjadi Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton, dari jabatan lamanya sebagai Camat Kaledupa.
“Jabatan Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton; harusnya dijabat oleh yang berlatar belakang militer. Kebetulan saya baru saja mengikuti pendidikan perwira Cadangan (Pacad) kerjasama TNI AD dan Depdagri tahun ajaran 1975/1976. Mungkin karena latar belakang itu, pembahasan hal-hal strategis saya banyak dilibatkan, apalagi Bupati kita itu militer murni,” kata H. La Afie
Di saat yang bersamaan, Kendari juga tengah bersibuk ria menyambut kelahiran ‘Kotif Kendari” yang kemudian disahkan oleh negara melalui PP Nomor 19 tahun 1978 tanggal 1 Juli 1978. Kondisi ini menjadi bahan cerita di kalangan elite Buton. Terasa ada nuansa ketidak-adilan, paling tidak muncul banyak pernyataan yang membandingkan kondisi Bau-Bau dengan Kendari saat itu.
La Ode Malim kepada La Afie dalam diskusinya memunculkan pertanyaan; kok bisa Kendari lebih dulu jadi Kotif, sementara infrastruktur Bau-Bau jauh lebih baik dari Kendari?. Karena itu bersepakatlah keduanya membuat pertemuan, mengajak para elite daerah untuk membahas lebih serius persiapan dan pengusulan lahirnya Kotif Bau-Bau.
Di tahun 1977 itu pula diusulkan Bau-Bau menjadi kota adminitratif, tetapi kemudian ditolak oleh pemerintah pusat, dengan alasan ada aturan baru, jika sebuah kota adminitratif harus memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) kecamatan. Sementara Bau-Bau hanya memiliki satu kecamatan penunjang utama, yakni Kecamatan Wolio.
Sebelum menjelaskan efek penolakan Kotif Bau-Bau ini, ada baiknya memahami sejak awal ikhwal berkaitan dengan asal mula pembentukan Kecamatan Wolio sebagai berikut;
Berkaitan dengan hal ikhwal Kecamatan Wolio sebagai kecamatan induk; dari sejumlah sejumlah literatur dan dokumentasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, menyebutkan jika Kecamatan Wolio terbentuk melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Nomor 87/1968 yang ditandatangani Gubernur Eddy Sabara pada hari Sabtu, tanggal 22 Juni 1968, di masa pemerintahan Bupati Buton - Muhammad Kasim (1964-1969). Lahirnya Kecamatan Wolio di Buton bersamaan dengan Lahirnya Kecamatan Kendari di Kendari.
Untuk menunjang kelancaran jalannya pemerintahan kecamatan Wolio maka ditunjuk Abdul Hasan sebagai Camat Wolio yang pertama, menjabat dari tahun 1968-1972. Wilayahnya terdiri dari beberapa desa dalam wilayah Kabupaten Dati II Buton, yakni; Desa Wale, Desa Tomba, Desa Bataraguru, Desa Batulo, Desa Wangkanapi, Desa Kadolomoko, Desa Waruruma, Desa Lakologou, Desa Liwuto.
Kecamatan Wolio sendiri berdasarkan sejarahnya sebelum menjadi nama kecamatan di tahun 1968 itu, adalah wilayah penggabungan dua distrik, yakni Distrik Bolio dan Distrik Bungi yang wilayahnya dibatasi kali Bau-Bau. Sebelah Barat Kali Baubau menjadi wilayah Distrik Bolio, dan sebelah timur menjadi wilayah Distrik Bungi.
Berkaitan dengan nama ‘Bolio’ oleh Bapak La Afie sebagai penutur kepada penulis mengaku tidak mengetahui asal muasal nama ‘Bolio’ itu, tetapi semenjak dahulu menjadi nama distrik. Kemungkinan besar kata Bapak La Afie, nama Bolio – bukan Wolio yang digunakan untuk menghindari penyempitan makna wlayah ‘Wolio’ itu sendiri. Sebab Wolio berdasarkan sejarahnya memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, karena nama lain dari Kerjaaan/Kesultanan Buton.
Dalam perjalanannya di sekitar dalam rentang tahun 1970 hingga 1980-an, wilayah-wilayah Kecamatan Wolio telah membesar menjadi 29 desa terdiri dari; desa Wale, desa Tomba, desa Bataraguru, desa Batulo, desa Wangkanapi, desa Kadolomoko, desa Kadolokatapi, desa Waruruma, desa Liwuto, desa Bungi, desa Lakologou, desa Liabuku, desa Kampeonaho, desa Lowu-lowu, desa Kalialia, desa Ngkaring-ngkari, desa Nganganaumala, desa Lanto, desa Kaobula, desa Wameo, desa Tarafu, desa Bone-Bone, desa Katobengke, desa Sulaa, desa Wajo, desa Lamangga, desa Melai, desa Baadia, desa Waborobo.
**
Penolakan itu tidak menyurutkan semangat para penginisiasi Kotif, sebaliknya semakin mendorong semangat untuk memenuhi syarat tersebut. Karenanya Kecamatan Wolio di akhir tahun 1978 yang wilayahnya sangat luas kemudian melakukan pemekaran dengan membentuk 2 (dua) kecamatan persiapan, yakni Kecamatan Persiapan Betoambari dan Kecamatan Persiapan Bungi.
Kecamatan Persiapan Betoambari dijabat sementara Drs La Afie yang juga memiliki jabatan defenitif sebagai Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton, dan Kecamatan Persiapan Bungi dijabat sementara Drs. Nadimin, yang juga memiliki jabatan defenitif sebagai Kabag Hukum Kabupaten Dati II Buton. Sementara Camat Wolio sebagai induk adalah Ismail Sara, BA (1977-1987), dengan menujuk petugas lapangan bernama Kapten Muluk untuk melaksanakan tugas-tugas perbantuan Camat Wolio.
Masih dalam status kecamatan persiapan, Drs. La Afie - Camat Persiapan Betoambari membuat sejumlah kebijakan yang dinilainya tidak populer bahkan sempat ditegur oleh Camat Induk dan Bupati Zainal Arifin Sugianto, sebab La Afie melakukan pemekaran desa-desa, seperti lahirnya Desa Lamangga sebagai pemekaran Desa Wajo, Desa Sulaa sebagai pemekaran dari Desa Katobengke.
“Alasan saya sederhana, memudahkan dan mendekatkan pelayanan masyarakat. Bisa dibayangkan masyarakat di Topa (Sulaa) sana jalan kaki berurusan ke kantor Desa Katobengke. Awalnya sempat ditegur, tetapi ketika Kecamatan Betoambari resmi defenitif dan saya juga ditunjuk sebagai camat defenitif Betoambari yang pertama, persoalan wilayah untuk usulan Kotif Bau-Bau berkaitan dengan Betoambari sudah tidak ada lagi,” ujar La Afie.
Masih di tahun 1978, kedua kecamatan persiapan ini (Betoambari dan Bungi) diusulkan untuk didefenitifkan, namun kemudian kabar yang berkembang beberapa waktu kemudian hanya Betoambari yang akan resmi defenitif jadi kecamatan, sementara Bungi untuk sementara ditangguhkan, dan tetap menyandang status sebagai “kecamatan persiapan”, bagian dari Kecamatan Wolio.
Di tahun 1979, terjadi pergantian camat, dari H. La Afie, BA ke camat baru bernama Bapak Dani Daud. Perjalanan kepemimpinan Dani Daud tak berlangsung lama, sebab di tahun 1979 itu pula digantikan La Ode Makmuni, BA sebagai pejabat baru Camat Persiapan Betoambari, hingga jelang lahirnya Kotif Bau-Bau. H. La Afie, BA sendiri mendapatkan tugas belajar ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pada 27 Juli 1981 Betoambari mendapatkan status defenitifnya. Tidak lagi menyandang sebagai ‘kecamatan persiapan’ tetapi resmi sebagai kecamatan otonom dalam wilayah Kabupaten Dati II Buton. Hal ini melengkapi usulan pembentukan Kota Administratif Bau-Bau..
Dengan demikian, dapat digambarkan kondisi perwilayahan ‘cikal bakal’ Kotif Bau-Bau ini, dalam sebuah tabel berikut ini (terlampir);
Dari mana Sorawolio?
Salah satu wilayah yang tak disinggung dalam proses pembentukan Kotif Bau-Bau ini adalah Sorawolio. Sementara wilayah ini juga dalam sejarahnya bagian dari Kecamatan Wolio. Cikal bakal terbentuknya Kecamatan Sorawolio bermula juga dari kecamatan persiapan; namun prosesnya berbeda dengan Betoambari dan Bungi.
Kawasan ini terlahir bermula di sekitaran tahun 1969 hingga tahun 1972, terdapat kebijakan keciptakaryaan dari Bupati Zainal Arifin untuk membuat kawasan resetlement; atau pemindahan penduduk untuk bertempat tinggal di tempat lain, kepada sejumlah warga yang berdomisili di sekitar Lipumangau-Sampolawa dan Gunung Sejuk, dan beberapa tempat di Pasarwajo. Mereka dipindahkan di kawasan yang disebut Resettlement 11 Karya Baru. Wilayah resetlement ini terus berkembang dan diikuti dengan lahirnya desa bernama Kaesabu Baru, Karya Baru dan Gonda Baru.
Pada tahun 1975, ketika Kecamatan Wolio dipimpin Camat Andi Sultan mengusulkan kepada Bupati Buton agar kawasan resetlemen dimaksud dibentuk sebagai kecamatan baru juga dengan status kecamatan persiapan, sama seperti Kecamatan Persiapan Betoambari dan Kecamatan Bungi. Usulan ini baru terealisasi di zaman Camat Ismail Sara, BA (1977-1987), sebab di zaman Camat Amir Dalle memimpin di Wolio (1975-1977) menggantikan Andi Sultan usulan ini sempat menggantung.
Maka di tahun 1979, resmilah wilayah resetlemen itu menjadi Kecamatan ‘Persiapan Sorawolio’, yang mana penamaannya berarti “berdampingan dengan Wolio”, “berdampingan dengan Wolio”, karena letaknya berdekatan dengan Kecamatan Wolio; juga merujuk pada nama benteng Sorawolio yang terletak berdampingan dengan Benteng Keraton Wolio-Buton kecamatan yang menjadi induknya.2 Diangkat sebagai Camat Persiapan Sorawolio adalah HM. Tompo M.Ali.(3)
Dasar filosofis pembentukan Kecamatan Persiapan Sorawolio yakni mempertimbangkan jarak pelayanan masyarakat Kaisabu, Bugi, dan Gonda. Pertimbangan lainnya; bahwa Pemerintah Kabupaten Buton memiliki konsep kebijakan kawasan pembangunan pertanian terpadu, disebut dengan kawasan “Busor” akronim dari Bungi dan Sorawolio. Atau gabungan Kecamatan Persiapan Bungi dan Sorawolio.
Pengggabungan ‘Busor” ini membawa dampak terhadap penempatan camat di wilayah itu, dimana dalam beberapa waktu hingga tahun 1986 beberapa kali Camat Persiapan Bungi dan Sorawolio dijabat oleh satu orang saja; sehingga pejabatnya disebut Camat Persiapan Busor.kedua kecamatan persiapan ini, belum dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Kotif Bau-Bau, kendati keduanya telah dipersiapkan sebagai ‘calon wilayah” Kotif Bau-Bau sebagai persyaratan terbentuknya daerah otonom baru - Kota Bau-Bau.(4) **
Kecamatan Persiapan Betoambari dijabat sementara Drs La Afie yang juga memiliki jabatan defenitif sebagai Kepala Sub Direktorat Ketentraman, Ketertiban dan Keamanan Pemerintah Kabupaten Dati II Buton, dan Kecamatan Persiapan Bungi dijabat sementara Drs. Nadimin, yang juga memiliki jabatan defenitif sebagai Kabag Hukum Kabupaten Dati II Buton. Sementara Camat Wolio sebagai induk adalah Ismail Sara, BA (1977-1987), dengan menujuk petugas lapangan bernama Kapten Muluk untuk melaksanakan tugas-tugas perbantuan Camat Wolio.
Masih dalam status kecamatan persiapan, Drs. La Afie - Camat Persiapan Betoambari membuat sejumlah kebijakan yang dinilainya tidak populer bahkan sempat ditegur oleh Camat Induk dan Bupati Zainal Arifin Sugianto, sebab La Afie melakukan pemekaran desa-desa, seperti lahirnya Desa Lamangga sebagai pemekaran Desa Wajo, Desa Sulaa sebagai pemekaran dari Desa Katobengke.
“Alasan saya sederhana, memudahkan dan mendekatkan pelayanan masyarakat. Bisa dibayangkan masyarakat di Topa (Sulaa) sana jalan kaki berurusan ke kantor Desa Katobengke. Awalnya sempat ditegur, tetapi ketika Kecamatan Betoambari resmi defenitif dan saya juga ditunjuk sebagai camat defenitif Betoambari yang pertama, persoalan wilayah untuk usulan Kotif Bau-Bau berkaitan dengan Betoambari sudah tidak ada lagi,” ujar La Afie.
Masih di tahun 1978, kedua kecamatan persiapan ini (Betoambari dan Bungi) diusulkan untuk didefenitifkan, namun kemudian kabar yang berkembang beberapa waktu kemudian hanya Betoambari yang akan resmi defenitif jadi kecamatan, sementara Bungi untuk sementara ditangguhkan, dan tetap menyandang status sebagai “kecamatan persiapan”, bagian dari Kecamatan Wolio.
Di tahun 1979, terjadi pergantian camat, dari H. La Afie, BA ke camat baru bernama Bapak Dani Daud. Perjalanan kepemimpinan Dani Daud tak berlangsung lama, sebab di tahun 1979 itu pula digantikan La Ode Makmuni, BA sebagai pejabat baru Camat Persiapan Betoambari, hingga jelang lahirnya Kotif Bau-Bau. H. La Afie, BA sendiri mendapatkan tugas belajar ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pada 27 Juli 1981 Betoambari mendapatkan status defenitifnya. Tidak lagi menyandang sebagai ‘kecamatan persiapan’ tetapi resmi sebagai kecamatan otonom dalam wilayah Kabupaten Dati II Buton. Hal ini melengkapi usulan pembentukan Kota Administratif Bau-Bau..
Dengan demikian, dapat digambarkan kondisi perwilayahan ‘cikal bakal’ Kotif Bau-Bau ini, dalam sebuah tabel berikut ini (terlampir);
Dari mana Sorawolio?
Salah satu wilayah yang tak disinggung dalam proses pembentukan Kotif Bau-Bau ini adalah Sorawolio. Sementara wilayah ini juga dalam sejarahnya bagian dari Kecamatan Wolio. Cikal bakal terbentuknya Kecamatan Sorawolio bermula juga dari kecamatan persiapan; namun prosesnya berbeda dengan Betoambari dan Bungi.
Kawasan ini terlahir bermula di sekitaran tahun 1969 hingga tahun 1972, terdapat kebijakan keciptakaryaan dari Bupati Zainal Arifin untuk membuat kawasan resetlement; atau pemindahan penduduk untuk bertempat tinggal di tempat lain, kepada sejumlah warga yang berdomisili di sekitar Lipumangau-Sampolawa dan Gunung Sejuk, dan beberapa tempat di Pasarwajo. Mereka dipindahkan di kawasan yang disebut Resettlement 11 Karya Baru. Wilayah resetlement ini terus berkembang dan diikuti dengan lahirnya desa bernama Kaesabu Baru, Karya Baru dan Gonda Baru.
Pada tahun 1975, ketika Kecamatan Wolio dipimpin Camat Andi Sultan mengusulkan kepada Bupati Buton agar kawasan resetlemen dimaksud dibentuk sebagai kecamatan baru juga dengan status kecamatan persiapan, sama seperti Kecamatan Persiapan Betoambari dan Kecamatan Bungi. Usulan ini baru terealisasi di zaman Camat Ismail Sara, BA (1977-1987), sebab di zaman Camat Amir Dalle memimpin di Wolio (1975-1977) menggantikan Andi Sultan usulan ini sempat menggantung.
Maka di tahun 1979, resmilah wilayah resetlemen itu menjadi Kecamatan ‘Persiapan Sorawolio’, yang mana penamaannya berarti “berdampingan dengan Wolio”, “berdampingan dengan Wolio”, karena letaknya berdekatan dengan Kecamatan Wolio; juga merujuk pada nama benteng Sorawolio yang terletak berdampingan dengan Benteng Keraton Wolio-Buton kecamatan yang menjadi induknya.2 Diangkat sebagai Camat Persiapan Sorawolio adalah HM. Tompo M.Ali.(3)
Dasar filosofis pembentukan Kecamatan Persiapan Sorawolio yakni mempertimbangkan jarak pelayanan masyarakat Kaisabu, Bugi, dan Gonda. Pertimbangan lainnya; bahwa Pemerintah Kabupaten Buton memiliki konsep kebijakan kawasan pembangunan pertanian terpadu, disebut dengan kawasan “Busor” akronim dari Bungi dan Sorawolio. Atau gabungan Kecamatan Persiapan Bungi dan Sorawolio.
Pengggabungan ‘Busor” ini membawa dampak terhadap penempatan camat di wilayah itu, dimana dalam beberapa waktu hingga tahun 1986 beberapa kali Camat Persiapan Bungi dan Sorawolio dijabat oleh satu orang saja; sehingga pejabatnya disebut Camat Persiapan Busor.kedua kecamatan persiapan ini, belum dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Kotif Bau-Bau, kendati keduanya telah dipersiapkan sebagai ‘calon wilayah” Kotif Bau-Bau sebagai persyaratan terbentuknya daerah otonom baru - Kota Bau-Bau.(4) **
- Drs. H. La Afie (Almarhum) adalah Sekretaris Kotif Baubau yang pertama kali (1981-1984). Wawancara dilakukan pada Sabtu, 17 Maret 2018 di kediamannya di Kelurahan Wajo-Kecamatan Murhum Baubau.
- Wawancara dan data dari Bapak H. La Ode Darmin, SH.M.Si – mantan Sekretaris Kotif Baubau 1993-1999. Pada 31 Maret 2018 di kediamannnya.
- Informai dan data dari Bapak Drs. H. La Afie.
- Beberapa narasumber yang dianggap bisa menjelaskan data tentang Busor, tidak mngingat lagi nama-nama Camat Persiapan Busor yang pernah menjabat, demikian halnya tidak ditemukan lagi arsip berkaitan hal tersebut.
0 Komentar